penyakit
hati menurut Qur'an dan Hadis
B
A B I
PENDAHULUAN
Setiap anggota tubuh diciptakan
untuk suatu fungsi tertentu. Maka ia disebut sedang dalam keadaan sakit apabila tak lagi
memiliki kemampuan untuk melaksanakan fungsinya itu, baik secara keseluruhan
ataupun sebagiannya saja.
Penyakit tangan menyebabkan tangan
tak mampu melaksanakan fungsinya, yaitu memegang. Sedangkan penyakit mata
menyebabkan mata tak mampu melaksanakan fungsinya, yaitu melihat.
Demikian pula penyakit hati,
menyebabkan hati tak mampu melakukan fungsinya yang khas, yang memang itu
diciptakan untuknya. Yaitu, pengetahuan, hikmah, ma’rifah, cinta kepada Allah,
beribadah untuk dan kepada-Nya, merasakan kenikmatan apabila menyebut atau
mengingat-Nya, mengutamakan-Nya di atas segala keinginan selain-Nya, serta
mengerahkan semua dorongan jiwa dan anggota tubuh demi melaksanakan semua itu.
Firman Allah SWT :
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإنْسَ إِلا لِيَعْبُدُونِ
“dan aku tidak menciptakan jin dan
manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (Adz-Dzariat: 56)
B
A B II
PEMBAHASAN
Ø Penyakit
Hati dan Cara Mengobatinya
Hati yang dalam bahasa Arab berarti
Qalbun adalah bagian yang sangat penting pada manusia. Jika hati kita baik,
maka baik pula seluruh amal kita:
Rasulullah saw. bersabda, “….Bahwa
dalam diri setiap manusia terdapat segumpal daging, apabila ia baik maka baik
pula seluruh amalnya, dan apabila ia itu rusak maka rusak pula seluruh
perbuatannya. Gumpalan daging itu adalah hati.” (HR Imam Al-Bukhari)
Sebaliknya, orang yang dalam hatinya
ada penyakit, sulit menerima kebenaran dan akan mati dalam keadaan kafir.
وَأَمَّا الَّذِينَ فِي
قُلُوبِهِمْ مَرَضٌ فَزَادَتْهُمْ رِجْسًا إِلَى رِجْسِهِمْ وَمَاتُوا وَهُمْ
كَافِرُونَ
“Orang-orang yang di dalam hati mereka
ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekafiran mereka, disamping
kekafirannya yang telah ada dan mereka mati dalam keadaan kafir.” [At
Taubah 125]
Oleh karena itu penyakit hati jauh
lebih berbahaya daripada penyakit fisik, maka kita perlu mengenal beberapa
penyakit hati yang berbahaya serta bagaimana cara menyembuhkannya.
1. Sombong
Sering orang karena jabatan,
kekayaan, atau pun kepintaran akhirnya menjadi sombong dan menganggap rendah
orang lain. Bahkan Fir’aun yang takabbur sampai-sampai menganggap rendah Allah
dan menganggap dirinya sebagai Tuhan. Kenyataannya Fir’aun adalah manusia yang
akhirnya bisa mati karena tenggelam di laut.
Allah melarang kita untuk menjadi
sombong:
وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ
مَرَحًا إِنَّكَ لَنْ تَخْرِقَ الأرْضَ وَلَنْ تَبْلُغَ الْجِبَالَ طُولا
“Janganlah kamu berjalan di muka
bumi ini dengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat
menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” [Al
Israa’ 37]
Ÿوَلا تُصَعِّرْ خَدَّكَ
لِلنَّاسِ وَلا تَمْشِ فِي الأرْضِ مَرَحًا إِنَّ اللَّهَ لا يُحِبُّ كُلَّ
مُخْتَالٍ فَخُورٍ
“Janganlah kamu memalingkan
mukamu dari manusia karena sombong dan janganlah kamu berjalan di muka bumi
dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi
membanggakan diri.” [Luqman 18]
Allah menyediakan neraka jahannam
bagi orang yang sombong:
ادْخُلُوا أَبْوَابَ
جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ
“Masuklah kamu ke pintu-pintu
neraka Jahannam, sedang kamu kekal di dalamnya. Maka itulah seburuk-buruk
tempat bagi orang-orang yang sombong .” [Al Mu’min 76]
Kita tidak boleh sombong karena saat
kita lahir kita tidak punya kekuasaan apa-apa. Kita tidak punya kekayaan
apa-apa. Bahkan pakaian pun tidak. Kecerdasan pun kita tidak punya. Namun
karena kasih-sayang orang tua-lah kita akhirnya jadi dewasa. Begitu pula saat
kita mati, segala jabatan dan kekayaan kita lepas dari kita. Kita dikubur dalam
lubang yang sempit dengan pakaian seadanya yang nanti akan lapuk dimakan zaman.
Imam Al Ghazali dalam kitab Ihya’
‘Ulumuddin menyatakan bahwa manusia janganlah sombong karena sesungguhnya
manusia diciptakan dari air mani yang hina dan dari tempat yang sama dengan
tempat keluarnya kotoran.
Bukankah Allah mengatakan pada kita bahwa
kita diciptakan dari air mani yang hina.
“Bukankah Kami menciptakan kamu
dari air yang hina?” [Al Mursalaat 20]
Saat hidup pun kita membawa beberapa
kilogram kotoran di badan kita. Jadi bagaimana mungkin kita masih bersikap
sombong?
2. Dusta
Adapun Al-Kadzib
(kebohongan), maka perbuatan ini akan mengantarkan pada kejahatan, yaitu
berpalingnya dari sifat istiqamah. Ada juga yang mengatakan bahwa kebohongan
adalah kemaksiatan yang paling cepat menyebar. Tentang tercelanya membicarakan
segala sesuatu yang ia dengar, Rasulullah bersabda, “Cukuplah seseorang
dianggap pendusta jika ia selalu membicarakan segala sesuatu yang ia dengar”.
(HR. Muslim 1/10)
Abdullah bin
‘Amr berkata, “Rasulullah pernah datang ke rumah kami,
waktu itu aku masih kecil, akupun keluar utk bermain. Ibuku kemudian memanggil,
“Ya Abdullah kemari, nanti akan ibu beri sesuatu”. Maka Rasulullah
bertanya: “Apa yang akan kamu berikan?” Dia mejawab, “Saya akan memberi
kurma”. Rasulullah kemudian bersabda, “Seandainya engkau tak melakukan
(apa yang engkau katakan), berarti telah dicatat atasmu satu kedustaan.”
(HR. Abu Daud no. 4991)
Nabi bersabda, “Seseorang
yang senantiasa & terbiasa dgn dusta akan dicatat di sisi Allah ta’ala
sebagai pendusta.” (HR. Bukhari 10/423, Muslim no. 2606).
Faktor pendorong berbuat dusta :
Motif yang mendorong
orang-orang yang memiliki jiwa nista untuk melakukan kedustaan cukup banyak,
diantaranya adalah :
1. Sedikitnya rasa takut kepada Allah Ta’ala dan
tidak adanya perasaan bahwa Allah Ta’ala selalu mengawasi setiap
gerak-geriknya, baik yang kecil maupun yang besar.
2. Upaya mengaburkan fakta, baik bertujuan utk
mendapatkan keuntungan atau mengurangi takaran, dgn maksud menyombongkan diri
atau utk memperoleh keuntungan dunia, ataupun karena motif-motif lainnya.
Misalnya saja: orang yang berdusta tentang harga beli tanah atau mobil, atau
menyamarkan data-data yang tidak akurat tentang wanita yang akan dipinang yang
dilakukan pihak keluarganya.
3. Mencari perhatian dgn membawakan cerita-cerita
fiktif dan perkara-perkara yang dusta.
4. Tidak adanya rasa tanggung jawab dan berusaha
lari dari kenyataan, baik dlm kondisi sulit ataupun kondisi lainnya.
5. Terbiasa melakukan dusta sejak kecil.
Ini merupakan hasil pendidikan yang buruk. Karena, sejak tumbuh
kuku-kukunya (sejak kecil), sang anak biasa melihat ayah dan ibundanya
berdusta, sehingga ia tumbuh dan berkembang dlm lingkungan sosial semacam itu.
6. Merasa bangga dgn berdusta, ia beranggapan
bahwa kedustaan menandakan kepiawaian, tingginya daya nalar, dan perilaku yang
baik.
3. ‘Ujub (kagum akan diri sendiri)
Ini mirip dengan sombong. Kita
merasa bangga atau kagum akan diri kita sendiri. Padahal seharusnya kita tahu
bahwa semua nikmat yang kita dapat itu berasal dari Allah. Jika kita mendapat
keberhasilan atau pujian dari orang, janganlah ‘ujub. Sebaliknya ucapkan “Alhamdulillah”
karena segala puji itu hanya untuk Allah.
Berhati-hatilah dengan penyakit ujub, sebab jika sudah menjangkit kedalam hati
hanya akan menimbulkan keburukan. Ujub merusak dan menghancurkan amal kebaikan.
Rasulullah SAW bersabda:
ثَلاَثٌ
مُهلِكَاتٌ شُحٌّ مُطَاعٌ وَهَوَيً مُتَّبَعٌ وَاِعْجَابُ المَوءِ بِنَفْسِهِ
Artinya
: Tiga perkara yang dapat menghancurkan, yaitu : kebakhilan yang ditaati,
hawa nafsu yang dituruti dan ujub seseorang terhadap dirinya.
Mula-mula ujub itu hanya berada di
dalam hati, yakni mengganggap dirinya paling mulia, paling segala-galanya dan
paling sempurna dibandingkan orang lain. Karena dengan anggapan yang demikian
itu maka hatinya merasa puas dan bangga atas apa yang dirasa. Kemudian
berkembang menjadi sebuah perkataan yang menggungkapkan tentang pandangan
manusia kepada dirinya sendiri yang mulia. Padahal yang demikian ini sangat dicela
dalam agama dan dibenci Allah, karena seseorang telah di jangkiti penyakit ujub
maka ada sikap meremehkan dalam berbuat amal, maka tepatlah kiranya jika ujub
ini adalah pangkal kemaksiatan, kelalaian dan kesenangan nafsu untuk merasa
puas kepada dirinya, sedangkan orang yang merasa puas dengan dirinya sendiri
karena menganggap sempurna, maka dia akan buta dengan kelemahan-kelemahan yang
dia miliki.
Ibnu Mas’ud berkata bahwa faktor
penyebab keselamatan manusia itu ada dua perkara, yaitu bertaqwa dan menanamkan
niat yang sungguh-sungguh. Seangkan faktor penyebab kecelakaan atau kebinasaan
juga dua perkara, yaitu putus asa dan membanggakan diri.
Bahaya ujub sebagaimana riya’ merupakan syirik kecil, demikian pula ujub
merupakan syirik kecil juga. Riya’ merupakan syirik dari sisi orang yang
beramal saleh menyertakan orang lain bersama Allah dalam mencari ganjaran
berupa pujian dan sanjungan, sedangkan ujub merupakan kesyirikan dari sisi
orang yang beramal saleh menyertakan dirinya bersama Allah dalam keberhasilanya
beramal saleh, seakan-akan bukan allah semata yang menjadikanya berhasil
beramal saleh akan tetapi ia juga turut andil dalam keberhasilanya beramal
saleh.
كَرَّرَهُ
زِيَادَةً فِي التَّنْفِيْرِ وَمُبَالَغَةً فِي التَّحْذِيْرِ، وَذَلِكَ لِأَنَّ
الْعَاصِي يَعْتَرِفُ بِنَقْصِهِ فَيُرْجَى لَهُ التَّوْبَةُ وَالْمُعْجَبُ
مَغْرُوْرٌ بِعَمَلِهِ فَتَوْبَتُهُ بَعِيْدَة
Artinya : "Rasulullah
shallallahu 'alaihi wa sallam mengulangi-ngulanginya (*ujub !, ujub !) sebagai
tambahan (penekanan) untuk menjauhkan (*umatnya) dan sikap berlebih-lebihan
dalam mengingatkan (*umatnya). Hal ini dikarenakan pelaku maksiat mengakui
kekurangannya maka masih diharapkan ia akan bertaubat, adapun orang yang ujub
maka ia terpedaya dengan amalannya, maka jauh/sulit baginya untuk
bertaubat" (At-Taisiir bisyarh Al-Jaami' as-Shoghiir 2/606)
Tanda-tanda terjangkit penyakit ujub
:
Menurut Almunaawi Assyafi’i
menyebutkan bahwasanya diantara tanda-tanda orang ujub adalah :
1. Dia merasa heran jika doanya tidak dikabulkan oleh Allah.
Dia merasa bahwa ketaqwaanya dan amalanya mengharuskan doanya dikabulkan oleh
Allah hal ini menunjukkan ujubnya dengan amalan saleh karenanya tatkala
doanya tidak dikabulkan merasa heran.
2. Jika orang yang mengganggunya ditimpa musibah, maka dia
merasa bahwa itu merupakan karomahnya.
Untuk mengobati penyakit ujub,
diantaranya sebagai berikut :
1. Menyadari bahwasanya mampunya kita beramal sholeh adalah
semata-mata kemudahan dan karunia dari Allah, firman allah :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ
الشَّيْطَانِ وَمَنْ يَتَّبِعْ خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ فَإِنَّهُ يَأْمُرُ
بِالْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَلَوْلا فَضْلُ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَرَحْمَتُهُ
مَا زَكَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ أَبَدًا وَلَكِنَّ اللَّهَ يُزَكِّي مَنْ يَشَاءُ
وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti
langkah- langkah syaitan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syaitan,
Maka Sesungguhnya syaitan itu menyuruh mengerjakan perbuatan yang keji dan yang
mungkar. Sekiranya tidaklah karena kurnia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu
sekalian, niscaya tidak seorangpun dari kamu bersih (dari perbuatan-perbuatan
keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang
dikehendaki-Nya. dan Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.” [An-Nuur :
21]
2.
Banyak ibadah yang agung yang
disyari'atkan untuk diakhiri dengan istighfar. Hal ini agar para pelaku
ibadah-ibadah tersebut tidak merasa ujub dengan ibadah-ibadah yang telah mereka
lakukan, akan tetapi tetap merasa dan sadar bahwa ibadah yang mereka lakukan
tetap ada kekurangannya.
4. Iri dan Dengki
Allah melarang kita iri pada yang
lain karena rezeki yang mereka dapat itu sesuai dengan usaha mereka dan juga
sudah jadi ketentuan Allah.
Ÿوَلا تَتَمَنَّوْا مَا
فَضَّلَ اللَّهُ بِهِ بَعْضَكُمْ عَلَى بَعْضٍ لِلرِّجَالِ نَصِيبٌ مِمَّا
اكْتَسَبُوا وَلِلنِّسَاءِ نَصِيبٌ مِمَّا اكْتَسَبْنَ وَاسْأَلُوا اللَّهَ مِنْ
فَضْلِهِ إِنَّ اللَّهَ كَانَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمًا
“Dan janganlah kamu iri hati terhadap
apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kamu lebih banyak dari sebahagian
yang lain. (Karena) bagi orang laki-laki ada bahagian dari pada apa yang mereka
usahakan, dan bagi para wanita (pun) ada bahagian dari apa yang mereka
usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karunia-Nya. Sesungguhnya
Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.” [An Nisaa’ 32]
Iri hanya boleh dalam 2 hal. Yaitu
dalam hal bersedekah dan ilmu. “Tidak ada iri hati kecuali terhadap dua
perkara, yakni seorang yang diberi Allah harta lalu dia belanjakan pada jalan
yang benar, dan seorang diberi Allah ilmu dan kebijaksaan lalu dia melaksanakan
dan mengajarkannya.” (HR. Bukhari)
Jika kita mengagumi milik orang
lain, agar terhindar dari iri hendaknya mendoakan agar yang bersangkutan
dilimpahi berkah. “Apabila seorang melihat dirinya, harta miliknya atau
saudaranya sesuatu yang menarik hatinya (dikaguminya) maka hendaklah dia
mendoakannya dengan limpahan barokah. Sesungguhnya pengaruh iri adalah benar.”
(HR. Abu Ya’la)
Dengki lebih parah dari iri. Orang
yang dengki ini merasa susah jika melihat orang lain senang. Dan merasa senang
jika orang lain susah. Tak jarang dia berusaha mencelakakan orang yang dia
dengki baik dengan lisan, tulisan, atau pun perbuatan. Oleh karena itu Allah menyuruh
kita berlindung dari kejahatan orang yang dengki:
وَمِنْ شَرِّ حَاسِدٍ
إِذَا حَسَدَ
“Dan dari kejahatan pendengki
bila ia dengki.” [Al Falaq 5]
Kedengkian bisa menghancurkan
pahala-pahala kita. “Waspadalah terhadap hasud (iri dan dengki), sesungguhnya
hasud mengikis pahala-pahala sebagaimana api memakan kayu.” (HR. Abu Dawud)
5. Riya’
Riya’ adalah berbuat kebaikan/ibadah
dengan maksud pamer kepada manusia, agar orang mengira dan memujinya sebagai
orang yang baik atau gemar beribadah seperti shalat, puasa, sedekah, dan
sebagainya.
Ciri-ciri riya:
“Orang yang riya berciri tiga,
yakni apabila di hadapan orang dia giat tapi bila sendirian dia malas, dan
selalu ingin mendapat pujian dalam segala urusan. Sedangkan orang munafik ada
tiga tanda yakni apabila berbicara bohong, bila berjanji tidak ditepati, dan
bila diamanati dia berkhianat.” (HR. Ibnu Babawih).
Orang yang riya’, maka amal
perbuatannya sia-sia belaka.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ
آمَنُوا لا تُبْطِلُوا صَدَقَاتِكُمْ بِالْمَنِّ وَالأذَى كَالَّذِي يُنْفِقُ
مَالَهُ رِئَاءَ النَّاسِ وَلا يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ فَمَثَلُهُ
كَمَثَلِ صَفْوَانٍ عَلَيْهِ تُرَابٌ فَأَصَابَهُ وَابِلٌ فَتَرَكَهُ صَلْدًا لا
يَقْدِرُونَ عَلَى شَيْءٍ مِمَّا كَسَبُوا وَاللَّهُ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْكَافِرِينَ
“Hai orang-orang yang beriman,
janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan
menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya
karena riya kepada manusia.” [QS. Al-Baqarah: 264]
"Maka kecelakaanlah bagi
orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai dari shalatnya, yang
berbuat karena riya.” [Al Maa’uun 4-6]
Imam Al Ghazali mengumpamakan orang
yang riya’ itu sebagai orang yang malas ketika dia hanya berdua saja dengan
rajanya. Namun ketika ada budak sang raja hadir, baru dia bekerja dan berbuat
baik untuk mendapat pujian dari budak-budak tersebut.
Seperti itulah orang riya’. Ketika
hanya berdua dengan Allah Sang Raja Segala Raja, dia malas dan enggan
beribadah. Tapi ketika ada manusia yang tak lebih dari hamba/budak Allah, maka
dia jadi rajin shalat, bersedekah, dan sebagainya untuk mendapat pujian para
budak.
Agar terhindar dari riya’, kita
harus meniatkan segala amal kita untuk Allah ta’ala (Lillahi ta’ala).
6. Bakhil atau Kikir
Bakhil alias Kikir alias Pelit alias
Medit adalah satu penyakit hati karena terlalu cinta pada harta sehingga tidak
mau bersedekah.
Ÿ
“Sekali-kali janganlah
orang-orang yang bakhil dengan harta yang Allah berikan kepada mereka dari
karuniaNya menyangka, bahwa kebakhilan itu baik bagi mereka. Sebenarnya
kebakhilan itu adalah buruk bagi mereka. Harta yang mereka bakhilkan itu akan
dikalungkan kelak di lehernya di hari kiamat. Dan kepunyaan Allah-lah segala
warisan (yang ada) di langit dan di bumi. Dan Allah mengetahui apa yang kamu
kerjakan.” [Ali ‘Imran 180]
Padahal segala harta kita termasuk
diri kita adalah milik Allah. Saat kita lahir kita tidak punya apa-apa.
Telanjang tanpa busana. Saat mati pun kita tidak membawa apa-apa kecuali
beberapa helai kain yang segera membusuk bersama kita.
Sesungguhnya harta yang kita simpan
itu bukan harta kita yang sejati. Saat kita mati tidak akan ada gunanya bagi
kita. Begitu pula dengan harta yang kita pakai untuk hidup bermegah-megahan
seperti beli mobil dan rumah mewah.
“Dan adapun orang-orang yang
bakhil dan merasa dirinya cukup serta mendustakan pahala terbaik, maka kelak
Kami akan menyiapkan baginya (jalan) yang sukar. Dan hartanya tidak bermanfaat
baginya apabila ia telah binasa.” [Al Lail 8-11]
Yang justru jadi harta yang
bermanfaat bagi kita di akhirat nanti adalah harta yang kita belanjakan di
jalan Allah atau disedekahkan. Harta tersebut akan jadi pahala yang balasannya
adalah istana surga yang luasnya seluas langit dan bumi.
“Berlomba-lombalah kamu kepada
(mendapatkan) ampunan dari Tuhanmu dan syurga yang luasnya seluas langit dan
bumi, yang disediakan bagi orang-orang yang beriman kepada Allah dan
Rasul-rasul-Nya. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” [Al Hadiid 21]
B
A B III
KESIMPULAN
Penyakit hati merupakan penyakit di
dalam jiwa yang lebih parah dari penyakit fisik. Karena bilamana hati seseorang
sakit, atau bahkan buruk, maka perilakunya pun demikian. Contoh-contoh penyakit
hati seperti :
1.
Sombong : memamerkan apa yang dia
punya padahal sesungguhnya semua yang ada di dunia ini hanya milik Allah.
2.
Dusta : kebohonganlah yang akan
membawa seseorang pada kejahatan.
3.
‘Ujub : mula-mula ujub itu hanya
berada di dalam hati, yakni mengganggap dirinya paling mulia, kemudian
berkembang menjadi sebuah perkataan yang menggungkapkan tentang pandangan
manusia kepada dirinya sendiri yang mulia. Padahal yang demikian ini sangat
dicela dalam agama dan dibenci Allah, karena seseorang telah di jangkiti
penyakit ujub maka ada sikap meremehkan dalam berbuat amal.
4.
Iri dan dengki : iri hanya boleh
dalam 2 hal. Yaitu dalam hal bersedekah dan ilmu.
5.
Riya’ : berbuat kebaikan/ibadah
dengan maksud pamer kepada manusia, agar orang mengira dan memujinya sebagai
orang yang baik atau gemar beribadah seperti shalat, puasa, sedekah, dan
sebagainya.
6.
Bakhil dan kikir : satu penyakit
hati karena terlalu cinta pada harta sehingga tidak mau bersedekah.
DAFTAR
PUSTAKA
Al-Ghazali, Imam. Bahaya Penyakit
Hati. Surabaya : Tiga Dua, 1994, cetakan kedua.
Al-Ghazali, Abu Hamid Muhammad. Tahdzib
Al-akhlaq wa Mu’alajat Amradh Al-qulub. Bandung : Penerbit Karisma, 1999.
http://media-islam.or.id/2009/10/08/penyakit-hati-sombong-iri-dan-dengki-dan-cara-mengobatinya/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar